Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera

Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera

Salah satu Orang Tugutildi Wilayah Wasile, Halmahera Timur, Maluku Utara. Ia baru saja mengambil kayu yang sudah mati di hutan untuk dijadikan perapian di dapur. (Foto: Faris Bobero/cermat)


Kata "Tugutil" sebenarnya adalah sebutan yang dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, untuk Suku Tobelo yang hidup di belantara Halmahera. Platenkamp sendiri memang dikenal sebagai salah satu orang asing yang tertarik meneliti komunitas Tugutil.

"Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia lama menelusuri di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi," ungkap Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Syaiful Madjid, ketika ditemui di rumahnya di Jati, Ternate, Maluku Utara, Jumat (5/4).

Peneliti Suku Tobelo ini bilang, kata Tugutil sebenarnya ada dalam Bahasa Tobelo, yakni O'Tau Gutili atau rumah obat.

Syaiful, dalam penelitiannya, juga mengidentifikasi Suku Tobelo dengan menyebutkan Tobelo Dalam dan Tobelo Luar. Tobelo Dalam, dalam penyebutan orang Tobelo sendiri, yakni O'HonganaManyawa (Orang Tobelo yang tinggal di dalam hutan), sedangkan Tobelo Luar, yakni O'HobereraManyawa (Orang Tobelo yang tinggal di luar hutan).

Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera

Salah satu anak muda Orang Tugutildi hutan di Halmahera yang masuk wilayah Administrasi Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Ia sedang membersihkan daging untuk dimasak di dalam bambu. (Foto: Faris Bobero/cermat)


"Saya tidak suka dengar orang bilang Suku Tugutil primitif. Mereka, Tugutil juga punya makna soal kehidupan. Punya sistem nilai dan kepercayaan," ungkap Syaiful, yang masa kecilnya berada di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O'HonganaManyawa bermukim.

Dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan lima bibit pohon, sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan 10 bibit pohon. "Lelaki Tobelo bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga mereka harus menanam pohon lebih banyak. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar," ujarnya.

Komunitas O'HonganaManyawa mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan cara berburu, meramu, berladang-berpindah, dan mencari ikan atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Pemenuhan kebutuhan komunitas ini masih bersifat subsisten, karena mereka hidup selaras dengan kondisi alam sekitarnya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lingkungan.

Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera
Proses memasak daging buruan di dalam bambu oleh Suku Tobelo di dalam hutan Halmahera. (Foto: Faris Bobero/cermat)

Pengetahuan dan kepercayaan mereka pada kesatuan hutan itu menjadi kekuatan yang dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan sehari-hari komunitas ini. 

"Dalam alam pemahaman mereka tentang bagaimana memperlakukan hutan merupakan jaminan bagi ketahanan pangan mereka, hutan tidak hanya merupakan sumber daya ekonomi, tetapi telah menjadi suatu kosmos di mana aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, serta aspek kebudayaan yang lain berinteraksi membangun suatu kehidupan yang utuh," jelas Syaiful. 

Hal ini sangat berkaitan dengan pemaknaan kosmologi sosial komunitas O'HonganaManyawa yang membagi lingkungan ekologi hutan ke dalam satu kesatuan (kesatuan rumah, kesatuan pemukiman, dan kesatuan hutan).

Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera

Bivak, tempat tinggal kakek Tulu, salah satu tetuaorang Suku Tobelo, Orang Tugutil di Hutan Wasile Halmahera Selatan, Maluku Utara. Tulu tidak ingin tinggal di pemukiman yang disediakan pemerintah karena lebih betah di hutan. (Foto: Faris Bobero/cermat)

Konseptualisasi diri dan lingkungan O'HonganaManyawa yang tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari) menjadi acuan untuk menginterpretasi kehidupannya di lingkungan hutan, begitu juga perilaku sosial komunitas O'HonganaManyawa dalam mengelola hasil hutan erat kaitannya dengan sistem nilai yang terdapat dalam tradisi lisan yang mengatur sikap dan pola tindakan dari komunitas O'HonganaManyawa dalam melindungi hutan di kesatuan hutan masing-masing.

Bagi O'HonganaManyawa pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Wowango ditempatkan untuk kepentingan komunitas O'HonganaManyawa pada masa akan datang (masa depan), dalam arti: setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya untuk kelangsungan kehidupan anak cucu mereka.

Sementara itu, nilai yang ada di dalam tradisi Lilingiri,yakni berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O'HonganaManyawa dalam pemenuhan kebutuhan meramu dan berburu di dalam kehidupan mereka di hutan.

"Bagi orang O'HinganaManyawa, anak yang sudah sudah bisa berburu, memasang jerat, adalah mereka yang sudah bisa mengidentifikasi masa depan dan bertahan hidup," katanya

Penyebaran Suku Tobelo

"Asal mula mereka itu dari Telaga Lina di Halmahera Bagian Utara, kemudian menyebar ke hutan-hutan di Halmahera, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Timur," ungkap Syaiful Madjid.

Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera

Salah satu anak perempuan dan ibu di Hutan Halmahera. (Foto: Faris Bobero/cermat)

Syaiful bilang, Suku Tobelo Dalam terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku. 

Terkhusus Hoku, sub suku ini disebut juga Canga atau orang Tobelo yang berada di pesisir. Sub suku ini, menurut Syaiful, dinyatakan punah. "Kemungkinan besar, suku yang berada di Naulu, Maluku, yang biasa dibilang Halefuru adalah orang Hoku, sebab, ada sebagian dialek yang mirip dengan Bahasa Tobelo," ungkapnya.

Dalam catatan-catatan penelitian sejarah menyebutkan, daratan Halmahera bagian utara hingga tengah banyak dihuni oleh Suku Tobelo yang asal muasalnya dari Telaga Lina. Mereka adalah kelompok etnis paling banyak yang tersebar di Maluku Utara.


Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera
Perempuan Tugutil di Hutan Halmahera. (Foto: Faris Bobero/cermat)

Telaga Lina menjadi 'rumah' awal peradaban Suku Tobelo membangun kampung atau wilayah yang disebut hoana

Leirissa dalam disertasinya tentang Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara menyebutkan, sejak pindah ke pesisir, masyarakat Tobelo terbagi menjadi empat hoana, dan ketika mereka pindah ke Distrik Kau (sekarang Kao, Halmahera Utara), terbentuk lagi empat hoana.

Solidaritas setiap hoanatergantung pada cikal-bakal pemujaan yang dilakukan dalam tempat pemujaan bersama yang disebut O Halu.

Syaiful menyayangkan soal pemberitaan beberapa media yang cenderung menyudutkan O'HonganaManyawa. Beberapa media bahkan menyebutkan suku ini belum beradab, primitif, kelaparan di hutan, dan sebagainya.

Padahal, O'HonganaManyawa punya sistem kepercayaan dan sistem nilai.