Ilustrasi waktu cepat berlalu. | Bystrov /Shutterstock
Sering kali saat beraktivitas waktu terasa begitu cepat berlalu, tahu-tahu hari sudah sore. Bukan sekadar perasaan, itu kenyataan.
Salah satu penjelasan psikologis yang umum tentang lebih cepatnya waktu berlalu seiring usia adalah, kita semakin tidak memperhatikan manakala informasi persepsi di sekitar jadi semakin akrab.
Contohnya anak-anak. Mereka mengalami banyak peristiwa dan merasakan berada di lingkungan baru, menggunakan kekuatan otak yang secara signifikan lebih banyak untuk memproses informasi sehari-hari.
Saat masih anak-anak rasanya menjadi dewasa adalah sebuah perjalanan panjang yang tak berujung. Seiring usia, kebaruan realitas itu perlahan-lahan berkurang. Alhasil, menyisakan perasaan waktu berlalu lebih cepat.
Adrian Bejan dari Duke University, memahami gagasan ini. Ia kemudian menawarkan penjelasan fisik yang lebih kuat.
Meskipun kita mungkin telah memproses lebih banyak informasi saat masih muda, sehingga membuat waktu terasa lebih lambat, Bejan mengklaim ini merupakan hasil kemampuan otak yang lebih muda untuk mengidentifikasi dan mengintegrasikan gambaran mental secepat kilat.
Menurut Bejan, ciri-ciri fisik otak yang menurun seiring usia mendukung perasaan kita bahwa waktu berlalu semakin cepat.
Sebagai contoh, frekuensi saccadic diketahui menurun seiring usia. Ini adalah kemampuan kita merasakan gambaran mental tunggal.
Penelitian pada bayi telah mengungkap mata yang lebih muda bergerak di sekitar suatu kejadian lebih cepat daripada orang dewasa. Ini menunjukkan pikiran anak muda memperoleh dan mengintegrasikan lebih banyak informasi lebih cepat daripada pikiran orang tua.
Beban data persepsi yang lebih tinggi inilah yang menghasilkan perasaan subjektif tentang waktu bergerak lebih lambat saat muda dan lebih cepat ketika tua.
"Pikiran manusia bisa merasakan waktu berubah ketika citra yang diterima berubah," kata Bejan. "Masa sekarang berbeda dari masa lalu karena pandangan mental telah berubah, bukan karena usia seseorang. Hari-hari terasa lebih lama di masa muda karena pikiran muda menerima lebih banyak gambar selama satu hari daripada pikiran yang sama di usia tua."
Tak bisa disangkal, gagasan Bejan menarik. Ini memperlihatkan mekanisme neurologis yang bisa menjelaskan persepsi subjektif tentang waktu yang berlalu lebih cepat seiring usia.
Namun, mekanisme fisik murni ini tidak sepenuhnya menjelaskan peningkatan kecepatan waktu yang kelihatan konsisten dan eksponensial dari tahun ke tahun seiring usia.
Hipotesis logaritmik mengisi kesenjangan ini, menunjukkan persepsi waktu sifatnya relatif terhadap proporsi waktu yang kita jalani. Jadi secara proporsional, usia satu tahun hingga 10 tahun terasa jauh lebih lama daripada satu tahun hingga 50 tahun.
Saat masih anak-anak, semua hal terasa baru, dan setiap masa membawa segudang pengalaman pertama yang terus-menerus diproses dan disimpan di bank memori otak. Dalam hal belajar membaca sampai belajar masak, memahami konsep-konsep baru membuat waktu terasa melambat.
"Dari masa kanak-kanak hingga dewasa awal, kita punya banyak pengalaman dan keterampilan baru yang tak terhitung jumlahnya. Namun, sebagai orang dewasa, hidup jadi lebih rutin, dan kita mengalami lebih sedikit momen yang tidak dikenal," papar Broadway.
Lanjutnya, "Sebagai akibat, masa-masa awal kita cenderung terwakili secara relatif dalam ingatan otobiografi kita, dan pada refleksi tampaknya telah bertahan lebih lama."
Semua ini membawa kita pada kesimpulan bahwa waktu itu rumit. Lebih rumit lagi, persepsi kita tentang waktu.
Gagasan baru Bejan mungkin lumayan akurat. Namun, ini hanyalah sepotong bagian dari puzzle yang lebih besar, yaitu pengalaman subjektif kita tentang waktu.
Kalau Anda merasa waktu bergerak terlalu cepat, usah khawatir. Anda bisa membuatnya tampak melambat.
Caranya, jaga otak tetap aktif. Peliharalah komitmen untuk mempelajari hal-hal baru, membuka diri bagi pengalaman baru, berapapun usia Anda.
Tidur nyenyak dan hidup bersih, kata Bejan juga bisa membuat Anda terbebas. Tak merasa jadi tawanan waktu.