Realitas Pemberantasan Korupsi Tidaklah Cukup Hanya Dengan Kejujuran!

Realitas Pemberantasan Korupsi Tidaklah Cukup Hanya Dengan Kejujuran!

Korupsi tidak mudah untuk diberantas melihat lawan yang akan dihadapi sangat banyak, memiliki kekuatan besar, yaitu kekuasaan dan uang. Hanya untuk melawannya modal kejujuran apakah cukup?

Indonesia memiliki tujuan mulia sekali akan kisah dan sejarah masa lampau, ketika funding father negeri ini membuat sebuah dasar negara, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki tujuan kesejahteraan untuk rakyat. Sayangnya, tujuan untuk ke arah sana belum bisa tercapai karena korupsi yang demikian masif dan menggurita.

Ketika memperhatikan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) di Indonesia masih 32 poin, dalam rangking Indonesia bahkan harus kalah dengan negara seperti Timor Leste, ini menggambarkan sebuah perjuangan ke arah yang lebih baik itu membutuhkan usaha yang sangat berat, itulah tugas KPK, Kepolisian, dan lembaga peradilan.

Nyawa Sebagai Taruhan

Masih ingat kasus Novel Baswedan? Saya kira dia adalah seorang korban dari kejahatan, akan tetapi motifnya apa? Kalau kita aware dengan posisi Novel dia adalah seseorang yang berpengaruh di lingkungan KPK, apakah teror yang dilakukan kepada anggota KPK itu sebagai cara menakuti KPK?

Tidak jauh-jauh hari ini teror juga menyerang komisioner KPK Agus Rahardjo, rumah dilempar bom molotov oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Dahulu juga ketika periode 2011 masa kepemimpinan Abraham Samad ketika beliau masih di Makassar ketika masih aktif menjadi aktifis ACC (Anti Corruption Committe) sudah terbiasa menerima teror pengrusakan bangunan hingga diteror dengan bangkai kepala kucing dengan ancaman tulisan dengan darah. Teror pun tak pernah berhenti hingga Abraham Samad menerima ancaman berupa message (SMS). Abraham pernah bercerita jika kasus message ini berkaitan dengan kasus Century dengan mengancam keluarga dan kerabatnya akan dihabisi jika membongkar kasus ini.

Nyawa adalah taruhan bagi anggota KPK, untuk memberantas korupsi dengan lawan yang dihadapi sangatlah banyak, mungkin bisa dihitung berapa lawan KPK sebenarnya, dari sisi jumlah saja mungkin saja KPK bisa OTT puluhan pelaku korupsi dalam periode kepemimpinan KPK.

Kita juga bisa lihat SDM di lingkungan KPK sangatlah terbatas, jika awareness ini menjadi perhatian publik dan DPR mungkin saja KPK mampu menyelesaikan permasalahan korupsi yang terjadi sangat masif. Sebagai gambarannya satu orang penyidik harus menangani lima hingga enam kasus bahkan ada yang sampai 12 kasus. Sebuah sumber daya yang kurang dari KPK itu sendiri.

Mengubah cara memberantas korupsi dengan melihat sekala prioritas!

Ya beberapa waktu yang lalu ada sejumlah anggota DPR mengkritik untuk membubarkan KPK dan ingin sekali memperkuat institusi kepolisian dan kejaksaan. Tetapi persoalannya saya masih ragu apakah kepolisian dan lembaga peradilan itu independen?

Kritik KPK ini berkaitan dengan penangkapan sejumlah kasus korupsi besar yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan tangkapan kepolisian untuk tindakan korupsi ini, nampaknya opini publik ingin digiring bahwa korupsi dianggap persoalan simple padahal ini permainan kompleks yang dimainkan para elit politisi untuk mencuci otak kita agar tak percaya lagi dengam KPK.

KPK menetapkan prioritas kasus-kasus besar untuk diselesaikan bukan karena KPK itu tebang pilih dengan kasus kecil, karena memang keterbatasan sumber daya. Melihat korporasi besar yang terlibat kasus korupsi merugikan dengan jumlah yang besar, memiliki impact terhadap rakyat besar pula, semisal kasus E-KTP yang ternyata adalah kasus besar di era penguasa sebelumnya tak bisa terendus masalah penganggaran yang telah bermasalah sejak awal, persoalan ini pun diseret oleh KPK ke ranah hukum setelah berganti rezim. Begitu kuat si penguasa waktu itu bahkan KPK sendiri bahkan memiliki keterbatasan. Masih ingat anda dengan kasus Antasari Azhar? Saya kira anda pasti paham cicak vs buaya, mungkin saja orang orang KPK yang pernah melawan kekuasaan para koruptor merasakan pula perlawanan hebat dari mereka.

Melihat hal ini sistem pemberantasan korupsi oleh KPK musti diubah, karena yang terjadi sangatlah masif, besar, termasuk extraordinary crime, cara penyelesaian nya pula harus dengan cara yang luar biasa, dengan metode yang radikal. Melihat cara KPK menyelesaikan kasus per kasus korupsi yang tak ada habisnya, perlu KPK memaping kejahatan korupsi ini dengan beberapa metode dalam pengintegrasiannya melakukan penindakan dan pencegahan.

KPK harus pula mengubah pola yang represif dalam menindak pelaku korupsi dengan cara melakukan OTT, bawa pengadilan, masukan penjara, dan sita hartanya, hal ini bagus tapi tak optimal, karena hal ini akan mengulang di jabatan yang sama dengan orang yang berbeda. Sebagai contoh si Ali tertangkap OTT KPK di instansi A, digantikan oleh si Romi, tak selang lama Romi ketahuan menerima suap akhirnya masuk penjara menyusul seniornya. Artinya regenerasi seorang koruptor diciptakan karena adanya peluang dari sistem yang ada, dan jika di biarkan akan berlangsung terus-menerus.

Oleh karena itu sistem yang melahirkan regenerasi koruptor ya harus dievaluasi. KPK perlu melakukan kajian mendalam kenapa instansi yang meregenerasi koruptor tak ada habisnya, inilah tugas Litbang KPK. Ataukah mungkin hal ini disebabkan regulasi yang memungkinkan peluang terjadinya korupsi, dengan sistem manajemen yang tak transparan? Wallahu alam

Selanjutnya KPK melakukan sebuah diagnosa beberapa peluang di instansi terkait yang berpotensi terjadinya kerawanan korupsi, seperti beberapa tahun lalu munculnya alokasi anggaran untuk Dana Desa yang rawan diselewengkan oleh pengguna anggaran kepala desa, sehungga butuh untuk diawasi agar tidak disalahkan gunakan, dibuatlah pengawas (pendamping desa). Dari kebijakan pemerintah ini KPK akan memberikan recomendasi atau supervisi, setidaknya di instansi terkait taat dengan hal ini tak akan ada lagi korupsi, ya semoga saja tidak ada penyalahgunaan dana desa.

Inovasi juga pernah dilakukan ketika KPK melakukan pembersihan mafia korupsi tahun 2012 di kementerian agama, tak tanggung tanggung kasus ini melibatkan pengelolaan dana haji, satu persatu mulai terlihat beberapa sektor instansi kemenag ditangkap KPK dan hingga saat ini persoalan ini belum ditaati oleh instansi dalam hal ini kementerian agama, wajar saja masih adanya peluang terjadinya suap dan korupsi, karena sistem itu sendiri yang belum dibenahi instansi terkait.

Good Will Seorang Presiden

Melakukan pembersihan dan memberantas korupsi hal yang paling fundamental adalah individu, sistem dan kultur. Setidaknya ada sebuah harapan besar agar Indonesia menjadi negara yang bersih, apakah kondisi ini ideal dengan keadaa KPK saat ini, bagaimana pula UUD MD3 medelgtimasi KPK, sehingga ruang KPK untuk bergerak sangat dibatasi, inilah permainan politisi karena tak ingin negara ini bersih.

Setidaknya kalau awareness dengan korupsi bisa dilihat setiap hari KPK mendapatkan 50 laporan kasus korupsi dari masyarakat. Sementara sumber daya yang terbatas sangatlah minim, KPK hanya memiliki 700 pegawai dengan 60 penyidik, dengan penduduk Indonesia mencapai 250 juta lebih. Mari kita bandingkan dengan negara Hong Kong yang memiliki kisaran jumlah penduduk 7 juta jiwa dengan luas wilayah tak seluas DKI Jakarta saja, lembaga antikorupsi Hong Kong memiliki 1.200 pegawai dan 900 penyelidik. Bandingkan juga dengan tetangga negara kita Malaysia, dengan jumlah penduduk sekitar 30 juta jiwa, memiliki lembaga antikorupsi 3000 pegawai dengan 2000 diantaranya sebagai penyelidik.

Melihat keseriusan KPK menangani kasus korupsi dengan jumlah sumber daya yang minim jangan muluk muluk dahulu menyelesaikan persoalan korupsi dapat selesai. Jika mengkaji ulang persoalan ini harusnya KPK memiliki pegawa lebih banyak, dengan jumlah penyelidik lebih banyak pula. Sehingga KPK menyelesaikan kasus-kasus besar disesuaikan dengan sekala prioritas dan ini butuh dukungan dari semua pihak mulai dari penegak hukum dan masyarakat.

Maka dari itu pemerintah harus memiliki good will dalam pemberantasan korupsi, jika pemimpin memiliki niat yang baik dan tulus menyelesaikan persoalan korupsi saya kira hanya persoalan waktu saja negara ini bisa menjadi negara bebas dari korupsi.

Quote:

Penyelesaian Untuk Mengakhiri Korupsi

Hukum adalah produk politik kita tak bisa memunafikan akan hal ini, politisi mendebatkan ini di sidang DPR dan jadilah Undang-undang yang sekarang bisa digunakan oleh KPK dalam penanganan kasus korupsi. Jika bicara hukum dan kasus per kasus korupsi dari ancaman pidana nampaknya ancaman hukuman pidana paling lama 15 tahun di Indonesia, dan masih bisa kita temui mereka masih mendapatkan potongan remisi. Setidaknya ancaman hukuman paling berat ya seorang penegak hukum yang menyalahgunakan wewenang untuk memutuskan perkara hukum, apakah mendapatkan hukuman mati? Jelas tidak! Aqil Muchtar diancam hukuman seumur hidup

Sehingga untuk saat ini perkara kasus korupsi jangan melihat pasal per pasal yang pada akhirnya para politisi akan mencari ahli debat sehingga nilai hukumnya hilang, bagaimana mungkin seorang yang melakukan korupsi dana bantuan bencana mendapatkan ancaman pidana lebih rendah dari seorang nenek yang dipenjara akibat mencuri kaya milik perhutani? Sungguh tak adil pada akhirnya sebuah penegakan hukum. Itulah sebabnya kita membutuhkan lembaya yudikatif yang benar benar bersih dan independen, seperti MK yang dapat mengkaji sebuah permasalahan hukum atas sebuah aturan undang undang yang belum ada. Sehingga apa yang dilakukan MK untuk persoalan hukum terkait korupsi wajib dilibatkan untuk sebuah paradigma hukum yang bersifat progresif, sehingga muncul lah trobosan hukum, sehingga KPK tak terbatas pada UUD MD3 yang sekiranya membatasi gerak KPK.

Keterlibatan MK ini setidaknya UUD yang dibuat DPR tidak digunakan semena mena untuk kepentingan sesaat politisi yang ada diruang sidang. Sedangkan mengabaikan masyarakat yang dirugikan atas kasus Korupsi. Hukum progresif ini cendrung mengutamakan keadilan, dan tak harus ikut dengan pasal-pasal dalam undang-undang, pasal itu hanya untuk mengetahui sebuah gejala. Karena sebagian pasal dalam penanganan kasus korupsi dalam pencarian alat bukti selain OTT akan menjadi perdebatan. Semisal dalam pasal MD3 ada aturan bahwa sebelum melakukan pengungkapan kasus korupsi dan mencari alat bukti wajib ijin dengan DPR, hal ini sangat mengada ada, dengan aturan ini misal anggota DPR yang sedang dicurigai KPK melakukan pidana korupsi, tapi KPK ngasih tau dulu, ini kan jadi bodoh bodohan. Maka dari itu terobosan KPK melakukan OTT menjadi alternatif dalam pengungkapan kasus korupsi.

Hukum Retroaksi Untuk Pelaku Korupsi dengan Menjadi Justice Colaborator, Apakah Perlu?

Tersangka kasus korupsi seketika diruang sidang mengakui kesalahannya, mengembalikan hasil dari korupsi dan gratifikasi yang ia lakukan, setidaknya ia mampu mengungkapkan siapa-siapa keterlibatan oknum lain yang dicurigai korupsi. KPK melakukan kerjasama dengan napi koruptor, kita lebih kenal Justice Colaborator. Banyak napi korupsi meminta untuk menjadi JC, setidaknya dengan membongkar kasus yang membelitnya dan membuka nama-nama baru sesuai fakta dan dapat dibuktikan seorang terpidana kasus korupsi dapat mendapatkan pengurangan masa tahanan. Tapi apakah itu perlu?

Sebenarnya alternatif ini menggambarkan bahwa KPK tak ingin beradu argumen terlalu panjang antara pembela hak terdakwa korupsi, ketika diruang sidang dan mampu mengungkapkan kasus ini lebih mendalam nama nama yang juga ikut bermain. Tapi seakan-akan dengan adanya JC seperti memberikan jalan sebuah cara yang Retroaktif, bagaimana pun KPK mengupayakan bahwa kerugian negara dikembalikan dengan penyebutan nama nama yang dicurigai menerima gratifikasi, setelah itu yang disebut satu perstu ke gedung KPK mengembalikan uang. Tujuan konsep retroaktif ini hanya mencari jalan damai, setidaknya politikus atau swasta yang menerima uang seakan-akan tidak dibawa ke pengadilan atas nama UU.

Alternatif mengakhiri korupsi

Saya punya pandangan untuk mengakhiri korupsi tapi mungkin akan ada orang dengar, seorang Profesor Mahfud mantan Mentri, Ketua MK, bahkan sering wara wiri di stasiun TV swasta memberikan kuliah umum soal hukum dan politik saja tak didengar seorang Mentri Agama, dan tak lama berberapa bulan KPK mengindikasikan bahwa Kementrian Agama menjadi sorotan kasus jual beli jabatan dan menjadi presiden buruk untuk era pemerintahan Jokowi, hal ini membuktikan orang yang dekat dengan Presiden tidak lah jauh jauh dari kata bersih. Pun demikian kita rakyat biasa bisa apa berbicara soal perkara korupsi, yang ada bisa bisa disangkakan balik pencemaran nama baik dan fitnah.

Tapi setidaknya konsep penegakan hukum terhadap napi korupsi tak menyelesaikan persoalan regenerasi koruptor baru di jabatan yang rawan. Jadi sebuah konsep saat ini yang digunakan ketika pejabat publik tertangkap tangan (OTT) melakukan korupsi, diproses hukum dan pejabat korupsi ini telah menyelesaikan persoalan hukumnya, lunas pula fakumnya dalam berpolitik, seketika kembali lagi ikut kompetisi mengisi jabatan publik (DPR, DPD,Bupati, dan Gubernur) atau dengan kata lain mantan napi korupsi ikut nyalon lagi. Tentu KPU lah yang akan menjadi sasaran masyarakat dan rakyat Indonesia karena jika sampai meloloskan mereka kredibilitas KPU pula dipertanyakan, padahal ini juga hasil lobi lobi partai politik yang tak taat dengan keseriusan dalam pemberantasan korupsi.

Untuk itu perlu rasanya Indonesia menerapkan sebuah 2 alternatif hukuman, pertama jika tersangka kasus korupsi telah melakukan korupsi dan telah melakukan kembali artinya tidak hanya satu korupsi yang ia lakukan dan hal yang berkaitan korupsi ini menghinakan institusi terkait. Semisal seorang di kementerian agama yang menjunjung tinggi akhlak, seketika ada kasus korupsi melibatkan pejabat kementrian agama melakukan korupsi kitab suci Al-Qur'an, harusnya pidana mati. Seperti yang dilakukan di Cina tegas terhadap para pelaku koruptor.

Alternatif kedua ini terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad SAW dan juga Geng Yakuza. Ketika Nabi Muhammad didepan sahabatnya berkata "Jika anakku terkasih Fathimah Az-Zahra terbukti mencuri, maka sayalah orang pertama yang memotong tangannya." Belajar dari penegakan hukum tidak boleh pilih kasih, pun demikian jika Geng Yakuza meminta kesetiaan harus memotong jarinya, jika ingin serius koruptor di Indonesia wajib potong jarinya, potongan jari itu diabadikan dan diawetkan sebagai sebuah sejarah bahwa ini jari tangan si A yang telah melakukan ini dan itu sesuai fakta hukum yang ada.

Sebenarnya seorang pejabat publik itu wajib lapor pajak dan penghasilan setiap tahun, dan melaporkan kekayaan kepada KPK nyatanya politisi Indonesia tak punya kesadaran moral, meraka bicara sok benar dan seakan akan bicara mewakili rakyat inilah yang terjadi saat ini. Sebenarnya bisa sih tanpa mereka lapor kita bisa cek mereka para pejabat dengan UU Pembuktian Tebalik. Seperti yang Prof Mahfud bilang tinggal audit gajinya perbulan semisal 20 juta artinya akan dapat dikalkulasi berapa uangnya dan kekayaannya. Ketika jumlahnya berlebihan dari kalkulasi pendapatan dan ketika kenaikan kekayaan tidak wajar belum dapat membuktikan bahkan tidak melaporkan kekayaan yang dimiliki, sudah yakin kata Prof Mahfud dia terindikasi seorang yang tak bersih atau seorang koruptor.

Saatnya Generasi Muda Sebagai Pelopor Perubahan

Selalu ada perlawanan ketika setiap akan ada perubahan, kita musti paham kita berubah untuk ke arah mana, lebih baik apakah lebih buruk. Dan seperti halnya Hidayah berubah menjadi lebih baik membutuhkan doa yang baik dan di ijabah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi bergerak ke arah perubahan lebih baik pula musti paham conflik yang sebenarnya terjadi. Jika kita ingin bergerak ke arah yang lebih baik setidaknya kita wajib transparan. Jika ingin mempelopori agar Indonesia bebas dari korupsi tak hanya butuh iklan dan janji manis tapi realisasikan. Dan ketika ingin menjadi pelopor melawan korupsi kita wajib untuk tidak memiliki sifat-sifat seperti dibawah ini:

Hipokrit, banyak politisi tipe hipokrit bicara panjang lebar tak sesuai ucapan-ucapan nya, bilang tak bersih esok hari kena OTT KPK, kira kira mau gak masuk tipe golongan ini, jadi wajib lah menjadi orang yang berpendirian teguh. Menjunjung kejujuran dan kehidupan normal, apa adanya.

Politis, seorang yang terlalu membuat kelompok-kelompok politik cenderung membuat konflik baru, saya lihat konflik antara 01 dan 02 tak akan pernah selesai ketika masing masing arah partai ini yang saling bersaing. Sedangkan pendukungnya berjihad dengan segala pembenaran dan memanfaatkan free speech (kebebasan berbicara) untuk kepentingan pilihan politik masing-masing kubu. Tak asing kan dengam bahasa Cebong-Kampret & Nasbung-Nastak. Jadi sebuah saran jauhilah hal yang berbau politis tapi mengingatkan pula hargai pilihan politik, gunakan akal sehat anda.

Pesan terakhir untuk menutup thread ini, mungkin saja korupsi bisa kita cegah saat ini, tapi anak cucu anda tak bisa ikut dalam lingkran setan korupsi dimasa mendatang. Kata orang bijak.

Terimakasih telah membaca tulisan sederhana ini mungkin masih banyak pertanyaan dan kurangnya informasi TS tentang UU Korupsi memang sengaja tak dibahas detail, maklum saja TS bukan ahli hukum pidana. Sekian dan Terimakasih.

Sumber : Pemikiran Pribadi, Data dari Majalah Intisari

CENDOL= Jika Suka dan Tertarik dengan Thread Ini
BATA= Jika Tak Tertarik dengan Thread Ini

Quote:

Quote:

Realitas Pemberantasan Korupsi Tidaklah Cukup Hanya Dengan Kejujuran!

Realitas Pemberantasan Korupsi Tidaklah Cukup Hanya Dengan Kejujuran!